Desa Kecil di Pesisir Pantai Barat Tepi Sumatera dengan Keelokan Karya dan Penulusuran Konflik di Dalamnya

  • Whatsapp

By: Nur Aini dan Nur Aina

Pemberitaan Medan Bisnis Daily edisi Jumat, 28/12/18. “Kenapa dilakukan hari nusantara, supaya rakyat Indonesia sadar bahwa kekayaan kita belum dikelola secara optimal di Laut ini”. Salah satu statement bapak Edy Rahmayadi selaku Gubenur Sumatera Utara. Beliau juga menekankan bahwa Sumatera Utara mempunyai potensi kelautan yang sangat besar jika dikelola dengan maksimal.

Bacaan Lainnya

Sumatera Utara menjadi salah satu provinsi terbesar di Pulau Sumatera, tentu bukan hal yang mudah menata wilayah tersebut dengan baik terutama dalam bidang perikanan dan kelautannya. Namun pemerintah tidak tinggal diam, berusaha untuk memberi kontribusi dan mengerahkan berbagai inovasi demi kemajuan perikanan dan kelautan nusantara.

Dalam upaya menyokong visi pemerintah, para akademisi dari salah satu kampus perikanan yang terletak di Tapanuli Tengah, yakninya Sekolah Tinggi Perikanan dan Kelautan Matauli berusaha memberikan dedikasi terbaiknya dalam
perwujudan visi tersebut, termasuk mencetak bibit unggul yang cakap dalam bidang sosial ekonomi perikanan, sehingga wujud nyata dari ini semua adalah dengan dilakukannya berbagai praktikum lapangan yang melibatkan mahasiswa dan masyarakat secara langsung dengan tujuan penelusuran masalah serta pemberian resolusi efektif.

Dari sekian banyaknya praktikum lapangan yang diadakan, terdapat topik unik terkait konflik yang terjadi di salah satu desa kecil bagian Tapanuli Tengah ini yakni Desa Hajoran Nan Indah. Sebagai central penjualan sumberdaya ikan segar langsung di Tapanuli Tengah, dengan panorama bak kepingan surga dan spot terkenalnya yaitu batu gajah. Desa Hajoran menyimpan tanda tanya besar, adakah desa kecil ini selalu damai dan minim konflik dalam pengelolaan perikanannya, atau justru sebalinya.
Berdasarkan pemaparan langsung dari warga yang berprofesi sebagai nelayan (Antonius dan Martinuz) tipe konflik yang terjadi di desa Hajoran adalah konflik agraria (perebutan wilayah/zonasi penangkapan), dimana nelayan desa Hajoran sering kecolongan orang-orang asing yang mengambil ikan dengan menggunakan alat tangkap yang lebih canggih.

Salah satu sumber permasalahan yang menyebabkan terjadinya konflik di Hajoran adalah perbedaan alat tangkap yang digunakan. Untuk alat tangkap yang digunakan masyarakat setempat didominasi dengan Bagan tancap, dan alat tangkap tradisional lainnya. Sedangkan kapal-kapal dengan ukuran diatas 30 GT menggunakan alat tangkap yang lebih modern, oleh karena itu terjadinya ketimpangan dalam jumlah penangkapan antara nelayan setempat dengan nelayan yang menggunakan kapal ukuran besar.

Disamping itu alat tangkap trawl juga menjadi pemicu utama konflik yang terjadi di Hajoran. Kapal dengan ukuran besar masih kerap kali menggunakan trawl sebagai alat tangkapnya, dan mengoperasikannya disekitar area yang berdekatan dengan pantai. Hal ini tentu berdampak terhadap rusaknya ekosistem terumbu karang, lamun dan kerugian terhadap nelayan-nelayan kecil dikarenakan mekanisme kerja alat tangkap tersebut menggeruk semua yang dihadangnya. Sehingga hasil tangkapanpun didominasi by catching, dan ekosistem biota laut menjadi rusak.

Martinuz juga mengatakan bahwa untuk permasalahan atau konflik yang terjadi di hajoran, langkah awal yang diupayakan adalah jalan kekeluargaan. Jika keputusan tidak didapatkan, maka akan dibawa ke kepala lingkungan (Stake holder).“Negara kita negara hukum, jika keputusan lagi-lagi tidak didapatkan, maka masalah tersebut dibawa keranah hukum dan diselesaikan secara konstitusi oleh pihak yang berwenang,” ujar beliau saat diwawancarai.

Pada hakikatnya berbagai permasalahan yang ada dalam ranah perikanan tangkap hampir memiliki karakteristik yang mirip diseluruh daerah pesisir pantai Indonesia, yaitu modernisasi perikanan yang tak merata yang berimplikasi pada kecemburuan sosial hingga konflik yang berujung saling melukai.

Menyikapi hal ini pemeritah bersama aparat penegak hukum harus lebih sigap menawarkan resolusi untuk mengatasinya. Diantaranya:

Perlu penguatan kelembagaan pengelolaan pemanfaatan sumber daya perikanan., misalnya pemberian modal untuk usaha pengolahan perikanan dan budidaya, sehingga para nelayan tak hanya bergantung pada hasil tangkapan di laut.
Perlu penguatan jaringan komunitas antar nelayan tradisional dengan nelayan semi modern sebagai resolusi konflik seperti organisasi-organisasi nelayan.

Perlu sosialisasi terhadap nelayan terkait batas tangkap yang jelas berdasarkan ukuran kapal yang digunakan dan dampak yang ditimbulkan terhadap penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan.

Pemerataan perlu dilakukan agar tidak terjadi ketimpangan antara nelayan modern dengan nelayan tradisional. Baik berupa distribusi alat tangkap maupun armada kapalnya. Serta pemberdayaan dan edukasi terhadap nelayan-nelayan tradisional dalam penggunaan alat tangkap dan armada kapal tersebut.

Dan perlu peningkatan dalam hal pengawasan dan penegakan hukum laut dengan cara meningkatkan patroli keamanan laut (Kamla).

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *