Siinarlintasnews.com, | ACEH SINGKIL – Azwar Ramnur, MA dan Dr. H. Ali Sibra Malisi, MH.I, Alumni Pesantren Babussalam Batu Korong menulis buku Syekh H. Baihaqi (Abuya Batu Korong) tentang Kiprah dan Perjalanan Dakwah di Singkil setebal 121 halaman.
Buku yang mengangkat kiprah dan perjuangan Abuya Batu Korong dalam berdakwah Agama Islam di Singkil, yang disusun oleh kedua Tokoh Akademis itu, tentunya tidak terlepas dari rasa cinta murid – muridnya kepada Abuya Batu Korong. Sehingga dengan adanya buku itu, perjalanan hidup Abuya dapat dibaca oleh generasi berikutnya.
Menurut Azwar, penulisan buku tersebut sudah lama direncanakan. Bahkan saat Abuya Batu Korong masih hidup. Namun, karena satu dan lain hal, rencana tersebut belum dapat terealisasi.
Hingga pada suatu hari di tahun 2016, saat berbincang santau di perumahan Asatidz Dayah Perbatasan Safinatussalamah, Biskang, rencana penulisan buku itu kembali dibahas.
“Dalam perbincangan itu disusunlah rencana penelusuran biografi atau riwayat perjalanan hidup Abuya Batu Korong yang dibuat dalam bentuk buku. Waktu itu kami berencana buku tersebut diterbitkan pada acara Haul ke 2 Abuya Batu Korong, sekitar Oktober 2017,” kata Azwar Ramnur, kepada Sinarlintas news com,Kamis (21/11/2019) di Aceh Singkil.
Sejak saat itu, dimulailah penelitian dan pengumpulan informasi riwayat hidup Abuya Batu Korong. Namun setelah berjalan beberapa bulan, ternyata pengumpulan informasi memghadapi beberapa kendala, sehingga sampai pada Haul Abuya ke 2 dan ke 3, buku tersebut belum juga dicetak.
“Barulah pada juli 2019, buku Syekh H. Baihaqi (Abuya Batu Korong) tentang Kiprah dan Perjalanan Dakwah di Singkil berhasil diterbitkan,” kata Tgk Azwar Ramnur kepada Sinarlintas news com, Rabu (20/11/2019) di Aceh Singkil.
Disampaikan Azwar, bahwa informasi yang diungkapkan dalam buku tersebut berasal dari banyak sumber. Diantaranya sumber itu adalah keluarga besar Abuya, murid -murid Abuya (mirid di Pasantren maupun murid di Persulukan), dan sumber-sumber lainnya.
“Ada juga sumber informasi Kami terima langsung dari Abuya, diceritakan ketika beliau masih hidup,” ujar Azwar Ramnur yang lahir di Silatong, 19 Juni 1985.
Azwar yang merupakan anak ke 4 dari 5 bersaudara, menceritakan Penulisan buku itu dilakukan dengan beberapatahap. Pertama, informasi dikumpulkan sebanyak-banyaknya dari berbagai sumber, termasuk dari cerita-cerita masyarakat, wawancara dengan beberapa tokoh dan lain-lain.
“Informasi tersebut kemudian kami kaji kembali dan kami telaah kebenarannya. Jika ada informasi yang diragukan langsung kami buang atau kami tinggalkan,” ungkap Azwar Ramnur.
Kedua, jelas Azwar, setelah informasi didapatkan kemudian dilakukan penulisan dalam bentuk narasi.
“Selanjutnya, dilakukan klarifikasi dan konfirmasi ulang kepada sumber-sumber lain yang lebih mengetahui dan bisa dipertanggungjawabkan. Termasuk kepada saudara beliau yang ada di Silatong”. Kata Azwar yang juga pernah menjadi murid di SDN Silatong ini.
Ketiga, kata Azwar, dilakukan penyandingan dengan data – data lain, yang mendukung
Menurutnya, salah satu bagian tersulit dalam pengumpulan informasi di buku ini adalah penanggalan (hari, bulan, tahun) atau penyebutan nama dan tempat.
“Dahulu di Smpang Kanan dan sekitarnya, penyebutan nama dan tanggal merujuk kepada musim atau peristiwa. Misalnya, pada saat tentara belanda datang ke Simpang Kanan disebut musim ribut.jarang ada orang yang mengigat tahun berapa itu,” papar Alumni Pesantren Babussalam Batu Korong itu.
Selanjutnya, kata Dia, pada saat pernah terjadi banjir besar di sekitar sungai Cinendang masyarakat menyebutnya musim banjir. Setelah dilakukan penyandingan data ternyata banjir itu terjadi antara tahun 1934-1935 Masehi.
“Ini juga tidak ada yang mengetahui tahunnya. Ada pula yang di kaitkan dengan musim tanam, misalnya musim panen padu atau pulung page,” tutur Azwar Ramnur yang juga pernah menempuh pendidikan pada tahun 1997 di Darul Muta’allimin Tanah Merah ini.
Dikisahkannya, bahwa masyarakat yang jadi informan terkadang juga mengigat peristiwa dikaitkan dengan keadaan diri atau keluarganya. Misalnya, ada orang memberikan keterangan ‘Waktu banjir terjadi, anak saya baru satu’. “Tentunya, Kita tidak tahu dia nikah tahun berapa dan punya anak pertama tahun berapa, intinya sulit menemukan tanggal pastinya,” sebut Azwar
Selain itu, di Simpang Kanan dan sekitarnya juga cenderung menggunakan bulan Hijriyah yang tiap tahun perhitungannya bisa berbeda dengan bulan Masehi (berbasis Matahari/ Syamsiyah).
“Yang sering diingat adalah bulan Zulhijjah (lebaran Haji), Syawal (lebaran ‘ledul Fitri),” ungkap lulusan Program Pascasarjana UIN Ar-raniry Banda Aceh pada tahun 2015 itu.
Dalam hal pencarian nama, sambungnya, mereka juga mengalami kesulitan. Di samping orangnya sudah meninggal, warga Simpang Kanan dan sekitarnya juga merasa enggan untuk menyebutkan nama orangorang tua terdahulu. Misalnya, untuk HM. Tahir, generasi setelahnya banyak tidak tahu nama aslinya karena orang-orang tua dahulu jarang sekali menyebut nama mereka.
“Beliau sering dipanggil Guru Genting. Ada pula yang dipanggil dengan nama anaknya atau cucunya. Misalnya mamak si fulan, kakek si fulan, dan lain-Iain,” kata Azwar yang saat ini menjabat sebagai Komisioner Panwaslih Kabupaten Aceh Singkil.
Azwar yang saat berdomisili di Desa Lipat Kajang Atas, Kecamatan Simpang Kanan Kabupaten Aceh Singkil menyebutkan, bahwa referensi dalam bentuk buku juga jarang ditemukan. Kalau ada, hanya sedikit yang tersedia.
Padahal, ungkapnya, pada tahun 1931 itu belumlah seberapa lama dibandingkan dengan tahun 1800-an afau tahun 1700-an. Namun, karena tidak ditulis, peristiwa dan keadaan pada tahun itu tidak terekam dengan baik.
“Agar kisah – kisah berharga ini tidak hilang begitu saja, kami berusah memgumpulkan satu demi satu, lembar demi lembar jejak perjalanan beliau, untuk dijadikan sebagai pembelajaran bagi generasi berikutnya,” bebernya.
Diungkapkannya, meskipun banyak kendala dan tantangan yang dihadapi, berkat bantuan dan dukungan rekan, sahabat, dan pihak -pihak lainnya yang terlibat dalam penulisan buku tersebut. Terutama keluaraga Besar Abuya Batu Korong dan seluruh narasumber yang telah memberikan informasi, sehingga penulisan buku tersebut dapat terlaksana.
“Buku yang kami tulis ini jauh dari sempurna, terdapat kekurangan di sana-sini. Tapi paling tidak ini bisa menjadi pemicu motivasi penulisan berikutnya. Saran, kritik membangun dan sumbangan pemikiran sangat kami harapkan agar kedepan kami dapat menulis dan mencetaknya kembali,” jelas dan harapnya.
Dalam buku tersebut, para penulis ikut menceritakan tentang Tanah Kelahiran, orang tua dan saudara – saudaranya; Pendidikan; Pengabdian; Karomah; Pengabdian Sepanjang Masa hingga sumber Informasi dan Biografis para penulis buku Abuya Batu Korong. pungkasnya.(Zulkarnain Bancin)