TAPANULI TENGAH — Drama pembangunan gedung megah Kantor Bupati Tapanuli Tengah (Tapteng) kembali mencuat. Sejumlah anggota DPRD Tapteng melakukan peninjauan langsung ke lokasi bangunan yang sejak beberapa waktu terakhir menjadi sorotan publik. Dari hasil tinjauan itu, fakta lapangan menohok. Selasa (4/11/25).

Bangunan yang menelan anggaran puluhan miliar rupiah itu belum juga rampung, bahkan tampak timpang antara lantai satu hingga lima.
Pantauan wartawan di lokasi memperlihatkan kondisi ironis. Dari lantai satu hingga empat, bangunan nyaris belum mencapai 40 persen pengerjaan. Tidak ada keramik, plafon, jaringan listrik, hingga pendingin ruangan. Sementara di lantai lima, justru tampak rapi dan hampir rampung—lengkap dengan keramik, lampu, dan AC.
Pemandangan janggal ini pun menimbulkan pertanyaan publik: mengapa lantai atas lebih siap ketimbang bawahnya?
Beberapa anggota dewan yang hadir menilai perlu dilakukan audit investigasi agar tidak muncul opini liar di masyarakat. Ketua Fraksi PDI Perjuangan Plus PKB, Famoni, menegaskan bahwa DPRD tidak sedang mencari kesalahan, melainkan mencari kejelasan hukum dan tanggung jawab pembangunan.
“Kita akui bupati terdahulu punya semangat luar biasa membangun Tapteng, itu patut diapresiasi. Tapi dalam semangat itu ada koridor hukum yang harus dipatuhi,” kata Famoni, Selasa (4/11/25).
Ia menekankan, Bupati saat ini tidak menolak kelanjutan proyek tersebut, namun harus mematuhi aturan pemerintah tentang batas waktu pembangunan tahun jamak (multiyears).
“Tidak ada faktor kebencian. Kita semua punya semangat membangun, tapi jangan sampai semangat itu justru menyeret kita ke persoalan hukum,” ujarnya tajam.
Sekretaris Fraksi PDIP Plus, Joko Pranata Situmeang, menambahkan bahwa pihaknya telah resmi mengusulkan pembentukan Panitia Khusus (Pansus) untuk menelusuri proyek ini secara terbuka.
Menurutnya, hingga kini belum ada kejelasan dasar hukum yang mengatur batas waktu pembangunan tersebut, termasuk rencana anggaran total dan jangka waktu penyelesaiannya.
“Kami dapat informasi nilai proyek ini mencapai Rp130 miliar. Dana yang sudah dihabiskan Rp84 miliar. Jadi masih ada puluhan miliar yang belum jelas ke mana arahnya,” ujar Joko.
“Pansus ini harus menjawab kepastian itu, agar masyarakat tidak menuduh tanpa dasar.”
Wakil Ketua DPRD Tapteng dari Fraksi Golkar, Joneri Sihite, juga menyatakan dukungan serupa.
“Kami setuju dibentuk Pansus sebelum pembangunan dilanjutkan. Dari hasil tinjauan, desainnya memang bagus, tapi kualitasnya belum bisa dipastikan. Kalau tidak memenuhi standar, jangan dipaksa. Kalau nanti roboh, rakyat yang jadi korban,” katanya.
Sementara itu, dari Fraksi Demokrat PAN (DePAN), Wansono Hutagalung, menyebut peninjauan tersebut merupakan tindak lanjut aspirasi masyarakat yang melakukan aksi unjuk rasa di DPRD beberapa waktu lalu.
“Kami perdana ke lokasi dan melihat langsung kondisi yang masih gantung. Kami berharap percepatan pembangunan bisa terjadi, tapi dengan tata kelola yang benar,” ujarnya.
Anggota DPRD dari PKB, Abdul Rahman Sibuea, menambahkan bahwa pembentukan Pansus menjadi langkah realistis untuk menegakkan transparansi dan akuntabilitas publik.
“Kita sama-sama sudah lihat kondisi di lapangan. Soal administrasinya nanti kita dalami di DPRD. Tapi jelas, kejelasan harus ada,” katanya.
Gedung Rp130 Miliar yang Masih ‘Kosong’: Cermin Buram Tata Kelola Pembangunan
Bangunan kantor bupati yang semestinya menjadi simbol kemegahan dan pelayanan publik justru kini menjadi monumen yang menimbulkan tanda tanya besar.
Dari luar tampak megah, namun di dalamnya kosong dan belum layak huni. Kontras antara semangat membangun dan lemahnya perencanaan memperlihatkan wajah buram tata kelola proyek daerah.
Masyarakat pun menunggu: apakah Pansus yang akan dibentuk DPRD benar-benar menjadi jalan terang untuk mengungkap kemana larinya dana miliaran rupiah itu—atau sekadar menjadi drama politik baru di Tapteng? (Jerry).






